Suatu hari, pada tanggal 5 Juli 2012, pengumuman SNMPTN yang seharusnya diumumkan hari selanjutnya pukul 21.30, seorang anak yang baru saja latihan voli berjalan menuju kamar tidurnya di lantai 2 dengan terburu-buru dan jatung yang berdegup kencang. Bagaimana tidak, pengumuman itu adalah penentuan baginya, sangat menentukan. Bukan nilai Ujian Nasionalnya yang rendah yang menentukan hidupnya.
Anak itu pun menyalakan lampu. Lewat dua setengah jam, pikirnya, karena pengumuman dibuka pada jam 7 malam. Lalu, ibunya berteriak kepadanya dari lantai bawah.
"Na! Sholat Isya dulu!" perintah ibunya. Anak itu membalasnya dengan berteriak juga, "Udah, Bu!" Lalu dia menyalakan processor komputernya dengan jantung yang berdegup kencang sambil berdoa kepada Allah SWT, berharap lolos, tidak peduli pilihan 1 atau 2.
Processor dan monitor pun menyala. Anak itu menyambung handphone Nokia E63 yang ia gunakan sebagai modem dengan kabel USB. Lalu ia membuka PC Suite dan menyambung koneksi internet. Tersambung. Dia, dengan jantung yang masih berdegup kencang sambil berdoa berkali-kali kepada Allah, membuka program Mozilla Firefox dan membuka website SNMPTN. Semakin berdegup kencanglah jantungnya. Dia menarik napas, lalu log in dengan mengetik nomor peserta dan tanggal lahir, serta kode captcha. Setelah itu, dengan loading yang agak lama, dia menutup matanya dan berbalik badan, takut tidak mendapat hasil yang dia inginkan. Lalu beberapa detik kemudian dia mencoba membuka kedua matanya dan berbalik menghadap layar komputer. Dan dia hanya melihat tulsan bagian bawah.
"SELAMAT ATAS KEBERHASILAN ANDA."
Apa!? Pikirnya. Dia lalu memberanikan diri melihat bagian atas dan ternyata. Oseanografi Universitas Diponegoro. Mulutnya pun menganga, jantungnya mencelos, benarkah? Apa ini hanya mimpi, pikirnya. Spontan dia pun berteriak "Alhamdulillah" berkali-kali lalu berteriak turun ke lantai bawah menuju kedua orang tuanya. "PAK! BU! ALHAMDULILLAH AKU DAPET!"
Sang ayah pun terkejut lalu bertanya, "Dimana?" Anak itupun berteriak senang, "UNDIP, PAK! UNDIP!!!" Dan sang ayah pun bersyukur dan mereka saling berpelukan. Lalu anak itu menyusul ibunya yang sedang mencuci baju di kamar mandi, "BU, AKU DI UNDIP!!!"
Teng! Aura pun berubah setelah ia memeluk ibunya, "Kenapa gak di ITB aja?"
"Apa!? Gua udah seneng dapet di Undip. Ini kan pilihan gua! Gua seneng. Lo waktu itu setuju aja sama pilihan gw. Kenapa gini?" pikirnya. Tapi ia tutupi dengan kalimat, "Alhamdulillah, Bu. Ini kan pilihanku." Lalu kembali ke kamarnya, tepatnya di depan layar komputer. Untuk mencari informasi lebih lanjut tentang pendaftaran ulang.
***
Setelah informasi tentang pendaftaran ulang dicetak, ia tersenyum sendiri. Tidak disangka ia bisa lolos seleksi padahal jika ia mengingat soal-soal SNMPTNnya, dia hanya menjawab asal dengan modal nekat.
Lalu ayahnya pun datang langsung ke kamarnya tanpa diundang dan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, itu karena kamarnya tidak punya pintu. Sang ayah pun sekali lagi memberinya selamat dan bertanya tentang pendaftaran ulang. Dia pun menjelaskannya pada ayahnya.
"Gak usah peduliin ibumu. Terserah ibu ngomong apa. Itu kan pilihanmu. Kamu udah gede. Kamu pasti udah mikir mateng-mateng," kata ayah. Anak itu hanya menjawab 'iya'. Lalu anak itu tertawa dan berkata kepada ayahnya, "Pak, aku jadi inget waktu abis tes STSN itu."
"Yang mana, Na?"
***
-flashback-
9 Mei 2012
Jam satu siang, menghadapi macetnya Jakarta di daerah Cililitan, di dalam sebuah mobil Panther hijau butut keluaran 1997, seorang anak dan ayahnya yang merangkap sebagai pengendara mobil itu, sedang heboh berbincang segala hal. Dan tiba-tiba muncul sebuah pembicaraan yang entah datang darimana.
"Pak, masa ada temenku yang dari kakek ampe kakaknya itu pilot," kata anak itu.
"Serius?" tanya ayahnya sambil fokus menatap kemacetan jalan dari balik kaca mobil. "Iya," jawab anak itu, "Kalo kita gimana ya? Masa mau keluarga air, segalanya PAM, ah, segalanya Aetra. Temen ngeluh PAM mati atau air kecil, kalo gak lewat aku ya lewat ibu ngeluhnya. Terus jadi tukang benerin keran air. Aaah serba air."
"Mungkin aja bisa gitu, Na," celetuk sang ayah, "Mungkin aja kalo gak kamu ya adek yang jadi penerus 'keluarga air'."
-flashback end-
***
"Oh yang itu, yang air itu," kata sang ayah setelah anak itu bercerita tentang obrolan mereka waktu itu. Anak itu mengiyakan, "Iya, Pak. Dan sekarang aku dapet di Oseanografi. Laut. Air!"
"Sebenernya bukan Bapak aja lho, Na," ujar ayahnya, "Mbahmu, bapaknya pa'e juga kerjanya bagian air. Dia jadi yang ngurus irigasi sawah."
MWOYA!? Pikir anak itu terkejut, "Jadi? Air..."
"Iya, Na," jawab ayahnya, "Mbahmu itu ngurus irigasi di sawah. Terus pa'e ngurus pipa-pipa air di PAM di Jakarta..."
"...semakin luas..." celetuk anak itu, "...dan aku, kuliah bagian kelautan, semakin luas..."
Semakin luas? Itu yang dia pikirkan sekarang hingga saat ini, saat dia sudah sebulan kuliah di tempat pilihannya, yang ia dapat dari SNMPTN tulis. Ia teringat ayahnya dan almarhum kakeknya yang pekerjaannya bagian air. Aku harus lebih luas dari mereka, laut! Pikirnya. Dan anak itu hanya terseyum sendiri membayangkannya. Aku harus berjuang, tekadnya dalam hati.
Dan anak itu adalah... 나는