Tiba-tiba saja aku seperti ditarik untuk pergi ke sebuah tempat di pasar itu, yang letaknya sangat dalam dan sangat tersembunyi. Entah mengapa kakiku terus memaksaku untuk pergi ke suatu tempat yang tidak tahu menjual apa atau apapun itu sehingga aku meninggalkan kedua temanku.
Aku tiba di tempat itu, terlihat seperti sebuah toko. Bercat hijau, serba hijau. Dan anehnya Ara dan Izah juga menghampiriku. Lalu Ara dan Izah masing-masing memberikanku sebuah bingkisan yang cukup besar. Akupun bingung, hari ini bukan hari ulang tahunku. Aku berulang tahun sebulan yang lalu. Dan aku bertanya siapa yang mengirim bingkisan ini. Keduanya menggeleng, mereka tidak tahu. Entah mereka benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.
"Serius gak tahu?" tanyaku. Mereka berdua mengangguk, "Serius deh."
"Mending lo buka, Na," usul Ara. Aku pun mengangguk setuju. Lalu kubuka bingkisan pertama, yang dibawa oleh Izah. Setelah kubuka, ternyata hanyalah kotak kosong. Hanya dipenuhi oleh bungkusan koran dan sebagainya. "Jiah cuma ngerjain doang ini bocah," gumamku.
Lalu aku mengambil bingkisan yang dibawa oleh Ara, sekilas hanyalah bingkisan biasa berwarna coklat. Aku hanya membukanya. Ada kotak! Kubuka! Ada kotak lagi! Kubuka sekali lagi, kotak! Kenapa hanya ada kotak!? Apa yang memberi bingkisan ini hanya ingin menipuku?
Dan kotak kelima, kubuka. Ternyata sebuah boneka beruang kecil yang lucu. Aku memegang boneka itu. Aih, boneka ini yang pernah kulihat di sebuah toko dan aku memang suka boneka ini sejak lama.
"Na, ada suratnya!" seru Ara. Aku terkejut, surat? "Buat gue?" tanyaku.
"Iya, Na. Ini tulisannya buat elu!" ujar Ara. Ara pun langsung memberikan suratnya padaku. Dengan rasa penasaran akupun langsung menerima dan membukanya.
"Dear Na, temanku."MWOYA!?" seruku. "Kenapa, Na?" tanya Izah. Akupun langsung memberikan surat itu ke Izah. Izah dan Ara pun membacanya. Setelah selesai membaca...
Sebenarnya sudah lama aku selalu melihat sisi lainmu, di samping sisi yang menyimpang dari jenis kelaminmu.
Mungkin kamu nggak sadar, karena kamu menganggapku sebagai teman dekat.
Na, aku menyukaimu."
Da
"Haha, gak nyangka dia suka sama lo, Na," ujar Ara, "Terima ajalah."
Aku bingung, sekarang, dimana dia? Dimana Da? Dia memberikan surat ini tapi tidak menunjukkan wajahnya. Aku takut kalau aku hanya dikerjai oleh teman-temanku karena aku tidak pernah punya pacar.
Dan yang kupikirkan pun terwujud. Orang itu, Da, dia menatapku di balik jendela. Tatapannya pun berbeda, dia tersenyum padaku dan ekspresinya... menunggu jawaban dari surat itu, surat yang ditulis olehnya.
Aku menatapnya cukup lama, lalu aku tersenyum. Dan dia pun ikut tersenyum.
Sebenarnya senyumku tidak menandakan aku menerimanya. Entahlah. Aku tersenyum karena aku berterima kasih karena pada akhirnya ada yang menyukai sisi yang antah berantah dariku, yah seperti yang Ara bilang. Tapi, Da, dia? Dia sahabatku, bahkan aku menganggapnya hampir sebagai saudara kandungku. Dan aku tidak bisa bilang 'ya'.
Karena aku menyukai orang lain.
***
Esoknya asistensi praktikum mata kuliah yang berbeda. Aku mendengarkan ucapan ketua tim asisten dengan seksama sambil mencatat hal-hal yang penting.
"Silahkan lihat nama kelompok kalian dan asistennya," ujar ketua tim asisten, "Semuanya sudah tertempel di papan pengumuman depan ruangan ini."
Setelah asistensi selesai pun kami semua pergi menuju papan pengumuman. Aku melihat namaku dan nama-nama teman sekelompokku. Saat kuihat nama asistennya...
Apa!? Asistenku Is!? Jantungku pun tiba-tiba berdegup sangat kencang. Kenapa bisa dia!?
***
Akhir minggu, ada acara pergi ke luar universitas, acara organisasi. Yang ikut serta hanya dipilih empat orang, aku, temanku Ga, seorang wanita yang tak kukenal, dan Is! Dia juga ikut! Tentu saja aku senang, senang sekali! Tapi aku harus bersikap senang karena aku temannya.
Kamipun berangkat dengan sepeda motor. Aku bersama Ga. Dan Is bersama wanita itu. Aku dan Ga, tentu saja, selama perjalanan kami mengobrol sambil bercanda, karena kami teman dekat. Bahkan Ga sudah kuanggap sebagai abangku sendiri, abang yang aneh. Aku juga melihat Is dan wanita itu, mereka juga terlihat dekat dan saling mengenal. Aku terdiam sesaat, ayolah! Is juga tidak akan memiliki perasaan yang sama padaku.
Kamipun sampai ke tempat tujuan. Setelah Ga dan Is memarkirkan motor mereka, kami semua memasuki sebuah ruangan. Kami menghadiri sebuah seminar yang memang hanya orang tertentu yang bisa ikut. Aku saja bingung kenapa aku bisa dipilih. Karena yah, tak selamanya sepanjang waktu seminar itu menyenangkan, jadi pada saat membosankan kami bercanda satu sama lain. Aku bercanda ria bersama Is dan Ga. Wanita itu? Ah, dia susah sekali diajak bercanda!
Setelah acara, tiba-tiba Ga mendapat telepon. Setelah selesai menelpon.
"Waduh Na, maaf aku buru-buru ini harus pulang kampung. Ada keperluan keluarga penting. Maaf banget ya," tanpa bicara panjang lagi, Ga pun langsung mengendarai motornya.
Tidak ada Ga, artinya, aku dengan siapa? Mulutku menganga, bingung.
"Yaudah, kamu naik taksi aja. Barengan bayarnya. Tapi kamu sendiri," usul Is. Aku menggeleng, "Nggak ah, aku kurang suka naik taksi. Aku mending naik angkot aja sendiri. Lebih enak hehehe. Duluan ya." Akupun langsung pergi menuju pinggir jalan menunggu angkutan umum datang.
Tak lama kemudian angkutan umum pun tiba. Aku langsung menyuruhnya berhenti dan masuk ke dalamnya. Tapi setelah aku masuk, angkutan umum masih berhenti. Ternyata bukan hanya aku saja yang masuk.
"Lho, kok kamu ikut?" tanyaku dengan sedikit terkejut saat Is juga ikut masuk ke dalamnya. Juga diikuti dengan wanita itu. Is hanya tersenyum, "Gak enak kalo kamu naik angkot sendirian. Masa berangkat bareng pulang sendiri-sendiri."
"Tapi motormu?" tanyaku bingung. Dia terkekeh, "Udah gampang itumah." Dan angkot pun berjalan.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, aku melirik ke wanita itu, tampaknya dia tidak senang naik angkot. Mungkin dia terpaksa. Lalu aku menatap Is yang tepat berhadapan denganku. Aku hanya menatapnya sebentar lalu menatap ke arah lain. Dia pun menatapku. Bingung. Selain itu, aku merasa jantungku mulai berdegup kencang. Saat aku kembali menatapnya, astaga! Ternyata dia menatapku lagi. Cukup lama. Tapi akhirnya aku tertawa.
"Lho, kok kamu ketawa?" tanya Is. Aku masih tertawa, "Haha, iyalah aku ketawa. Kamu kalah! Kamu kedip duluan!"
Is pun tercengang sesaat, lalu dia ikut tertawa, "Haha, kamu ini emang dikira aku lomba melotot sama kamu."
"Terus apa emang?" tanyaku. Dia menjawab, "Nggak, aku cuma ngeliatin kamu aja. Hihi, lucu ngeliatin kamu."
DEG!
***
Aku membuka mata. Terbangun, lalu melihat jam di handphone.
Sudah jam setengah satu siang.
Ya ampun, ternyata hanya mimpi. Semua mimpi! Mimpi lagi, mimpi lagi. Tak kunjung nyata.
Kapan bisa jadi kenyataan?
"Hanya waktu yang menjawab."