Waarschuwing!!!

Blog ini tidak diperuntukkan kepada:

1. Yang tidak/belum bisa membaca

2. Yang tidak suka sama isinya atau backgroundnya

3. Yang tidak memiliki nyali untuk membuka blog ini



Jika Anda ingin membaca blog ini, persiapkan mental Anda, serta harus kuat rohani dan jasmani.

Monday, August 30, 2010

CATATAN Liga Champions: Selamat Datang Lagi, Ajax!

Ajax Amsterdam dapat menyambut musim pertama Liga Champions mereka setelah lima tahun dengan penuh optimisme.

Oleh Agung Harsya

28 Agu 2010 02:03:00

Mounir El Hamdaoui en Miralem Sulejmani (beiden Ajax) vieren feest; PROSHOTS
Mounir El Hamdaoui en Miralem Sulejmani (beiden Ajax) vieren feest; PROSHOTS



Bagi generasi sepakbola modern, Ajax Amsterdam hanyalah tinggal nama besar. Itupun kalau masih ada yang mengenang kejayaan mereka pada Liga Champions 1994/95. Berani taruhan, Ajax lebih dikenal sebagai penelur pesepakbola muda berbakat. Mungkin ada sebagian yang mengingat kapan saja Ajax menjuarai Piala Champions. Tapi, dalam wacana kekuatan sepakbola modern, Ajax terabaikan.

Medio 1990-an, kegembiraan Ajax campur aduk dengan kemalangan. Memang saat ditangani Louis van Gaal mereka sukses menjuarai Liga Champions dengan kekuatan para pemain binaan sendiri. Edwin van der Sar, Frank de Boer, Danny Blind, Michael Reiziger, Winston Bogarde, Clarence Seedorf, Edgar Davids, Ronald de Boer, hingga Patrick Kluivert adalah generasi emas Ajax yang berasal tak lebih dari 40 mil di sekitar De Toekomst -- akademi pembinaan usia dini Ajax yang tersohor itu.

Tepat setelah kejayaan di Wina berkat gol tunggal Kluivert yang menamatkan perlawanan AC Milan -- musim itu Ajax mengalahkan Milan tiga kali di Liga Champions -- sepakbola Eropa memasuki era baru. Dekrit Bosman diterima Majelis Eropa dan diberlakukan tanpa kecuali di seluruh liga anggota Uni Eropa. Klub-klub pun berbondong-bondong merekrut pemain asing. Bagi klub seperti Ajax yang mengandalkan materi pemain dari akademinya, fenomena ini adalah sebuah bencana. Klub dapat mencari cara instan meraih prestasi dengan membeli pemain yang sudah jadi. Padahal, butuh waktu tidak sebentar menunggu pemain muda bersemi. Bahkan, tak cuma pemain yang sudah matang, pada era sepakbola modern klub-klub Eropa pun tak segan b
erburu bocah-bocah cilik dengan iming-iming tinggi.

Kekuatan Ajax perlahan memudar. Berbekal sisa-sisa kekuatan musim sebelumnya -- Reiziger, Bogarde, Kluivert, dan Seedorf pindah klub setelah final di Wina -- Ajax masih mampu tampil di final Liga Champions 1995/96. Mereka hanya kalah dari Juventus melalui adu penalti. Setelah itu, Ajax ditelan hingar-bingar sepakbola Eropa yang penuh bintang.

Musim panas 1996, Ajax meninggalkan De Meer yang sudah dihuni selama 62 tahun dan pindah ke stadion baru bernama Amsterdam Arena. Setelah kejayaan generasi 1995, kepindahan itu terasa tepat. Tapi, Dekrit Bosman mengacaukan segalanya. Sejak dibuka, Arena tak pernah menyaksikan kejayaan Ajax di kancah Eropa. Prestasi terbaik Ajax di Liga Champions hanya babak perempat-final musim 2002/03. Saat itu, Ajax disingkirkan Milan 3-2 -- gol penentu Milan dicetak Jon Dahl Tomasson ketika laga kedua di San Siro sudah menginjak tambahan waktu.

Setelahnya, Ajax terpendam. Beberapa kali Ajax berjuang menembus babak penyisihan grup Liga Champions, namun selalu gagal. Musim 2006/07, mereka secara menyakitkan ditekuk FC Kopenhagen, 3-2 secara agregat. Musim berikutnya, langkah mereka kembali terhenti di babak kualifikasi. Kali ini, Sparta Praha menjadi batu sandungan Ajax.

Di luar lapangan, kebijakan Ajax menjual para pemain andalan menuai kritik. Media menuding Ajax mengabaikan peluang meraih prestasi di atas lapangan dengan melepas pemain kuncinya. Musim panas 2007, Ryan Babel dijual ke Liverpool seharga €17 juta. Pada saat hampir bersamaan, Wesley Sneijder dilego ke Real Madrid dengan transfer €27 juta. Selang satu setengah tahun, salah satu aset terbaik bernama Klaas-Jan Huntelaar dilepas setelah Real Madrid datang dengan €27 juta. Total, dari tiga penjualan tersebut Ajax menangguk dana €71 juta!

Herannya, beberapa tahun belakangan kondisi finansial Ajax malah morat-marit. Sejak terjun ke lantai bursa Amsterdam, kondisi tersebut dapat dengan mudah diketahui publik. Beberapa tahun belakangan, nilai saham Ajax terus anjlok. Nilai ekuitas Ajax terus menurun. Sempat tercatat memiliki nilai €101 juta berkat sukses 1995, jumlah tersebut menurun €15 juta dalam lima tahun terakhir. Nilai ekuitas ini masih kurang dari setengah total aset klub. Namun tetap harus diwaspadai karena Ajax tak memiliki utang kepada pihak lain.

Lalu, ke mana semua uang penjualan tersebut?

Anggapan pertama, biaya pengelolaan Ajax sangat tinggi. Secara resmi, Ajax menyatakan memiliki 71 pemain dengan ikatan kontrak. Rinciannya, 41 pemain taruna, 25 anggota skuad inti, dan sepuluh pemain yang dipinjamkan ke klub lain. Secara total, Ajax memperkerjakan 227 orang. Di Belanda, jumlah tersebut mencakup empat persen populasi pekerja industri sepakbola. Dalam setahun, Ajax membutuhkan sekurangnya €50 juta untuk menggaji semua pekerja. Jumlah tersebut akan kian membengkak dengan jumlah bonus yang harus dibayarkan jika Ajax sukses meraih gelar juara.

Di sisi lain, Ajax tak memiliki sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pendapatan Ajax terus menurun. Tahun 2009, pendapatan Ajax berkurang €1 juta dibandingkan empat tahun sebelumnya. Memang masih ada pendapatan dari sektor penjualan tiket dan hak siar domestik. Namun, sumber tersebut bersifat relatif tetap untuk menutupi biaya pengelolaan sehingga tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan pendapatan klub.

Parahnya, investasi yang dilakukan Ajax terbukti tak mendatangkan hasil setimpal. Sebagai contoh, musim 2008/09, Marco van Basten datang sebagai pelatih Ajax dengan tugas utama memperbaiki prestasi tim. Jika prestasi datang, kondisi kas pun dapat ditunjang. Untuk memperkuat tim, Van Basten mendatangkan Miralem Sulejmani dengan rekor transfer domestik sebesar €16,25 juta. Hingga kini, angka tersebut masih ditertawakan karena Sulejmani tak jua menemukan sinarnya di Arena. Investasi Sulejmani menunjukkan kegagalan perekrutan Ajax dalam beberapa tahun terakhir, seperti halnya Gabri Garcia, Dennis Rommedahl, Kennedy Bakircioglu, George Ogararu, Oleguer Presas, dan Rob Wielaert.

[Johan Cruyff seharusnya ikut bergabung dengan Van Basten dalam tim teknik Ajax namun mundur pada saat-saat terakhir. Saat itu, Cruyff beralasan ada perbedaan prinsip antara dengan bekas anak asuhnya itu terkait "pembinaan pemain usia muda". Kini, dapat diduga kuat keputusan Cruyff mundur karena Van Basten menginginkan datangnya prestasi secara instan.]

Kesimpulan sementara, salah satu jalur ampuh yang bisa menyediakan oasis bagi kondisi kas Ajax saat ini adalah pendapatan dari sektor partisipasi di kompetisi Eropa. Tak mungkin Ajax harus selalu melepas pemain terbaiknya ke klub lain dan merana di atas lapangan hijau. Ingat, prestasi dan kondisi kas harus sejalan.

Jadi, tidak usah heran apabila Martin Jol mengepalkan tangannya sementara Danny Blind melonjak-lonjak kegirangan ketika Luis Suarez mencetak gol pertama Ajax ke gawang Dynamo Kyiv di Arena, Rabu (25/8) malam lalu. Sang pelatih dan asistennya kian girang ketika Mounir El Hamdaoui menggandakan keunggulan Ajax 15 menit sebelum pertandingan berakhir. Meski sempat ketar-ketir karena Dynamo mampu membalas satu gol, Ajax berhasil lolos dari babak play-off Liga Champions dengan keunggulan agregat 3-2. Keberhasilan ini pun menghapus rindu mereka setelah absen selama lima musim terakhir.

"Selesai sudah tugas yang dibebankan kepada saya. Kami lolos ke Liga Champions dan patut merayakannya," ujar Jol penuh kelegaan usai pertandingan.

Berdasarkan kendala finansial klub, Jol sadar tak bisa menawar target berpartisipasi di Liga Champions musim ini. Pantas saja dia meminta publik merayakan keberhasilan tersebut karena sektor pendapatan tambahan sudah terbayang di pelupuk mata.

Lolos ke babak penyisihan Liga Champions saja sudah membuat pundi-pundi Ajax menebal setidaknya €5,9 juta. Rinciannya, €2,1 juta karena lolos ke babak play-off dan sisanya berkat berhasil menembus babak penyisihan grupnya.

Potensi pendapatan kian bertambah. UEFA memberikan uang tampil €0,55 juta per pertandingan di babak grup. Jika menang, tersedia bonus sebesar €0,8 juta. Seri, UEFA mengganjarnya dengan €0,4 juta. Jumlah uang hadiah terus menanjak sejak babak gugur hingga final, mulai dari €3 juta untuk lolos ke babak 16 besar sampai €9 juta jika Ajax menjuarai Liga Champions musim ini.

Belum selesai. Uang hadiah tersebut belum mencakup pembagian hak siar televisi sesuai jumlah pemirsa di negara masing-masing. Sebagai ilustrasi, berkat pembagian hak siar ini, Bayern Muenchen dan Manchester United menjadi klub yang terbanyak mengumpulkan pendapatan di Liga Champions 2008/09 meski Barcelona yang keluar sebagai juara.

Jika demikian, hasil undian di Grimaldi Forum, Monaco, Kamis kemarin selayaknya disambut gembira -- alih-alih kekhawatiran -- oleh publik Ajax. Di Grup G, Ajax tergabung bersama klub bereputasi Eropa lainnya, AC Milan dan Real Madrid, di samping satu tim kuda hitam, AJ Auxerre. Banyak pihak yang menilai inilah salah satu grup maut di Liga Champions musim ini. Bagi akuntan klub, hasil undian menjadi perayaan berikutnya. Sudah terbayang 52.328 bangku Arena bakal terisi penuh ketika Ajax menjamu Milan dan Madrid. Bayangkan pula pemirsa yang memelototi siaran langsung pertandingan Ajax di markas Milan dan Madrid.

Jol kini tak perlu merisaukan beban harus membantu kondisi finansial klub, tetapi menyiapkan tim untuk mampu setidaknya mengimbangi kekuatan dua tim papan atas Eropa tersebut dalam empat pertemuan -- dengan tidak mengurangi respek terhadap kekuatan Auxerre.

De Goedenzonen, Anak-Anak Dewa, siap berpesta di Liga Champions musim ini.

No comments:

Post a Comment