Kegagalan menembus skuad junior Vitesse Arnhem dan Heerenveen di Belanda tidak membuat Syamsir Alam menyerah. Selanjutnya, ia menjadi tulang punggung timnas U-17.
30 Des 2008 09:25:28
PENGANTAR REDAKSI:
Kegagalan demi kegagalan yang dipetik tim nasional senior Indonesia, mungkin membuat kita bertanya-tanya, apakah kita harus mengalihkan harapan terhadap pemain-pemain muda Indonesia? Saat ini, eks timnas U-16 Indonesia sedang belajar ke Montevideo, untuk program pembinaan dan peningkatan fisik pemain di bawah asuhan pelatih Cesar Payovich Perez asal Uruguay.
Mereka diberi nama S.A.D. Indonesia (singkatan dari Sociedad AnĂ³nima Deportiva), dan berlaga dalam Quinta Division, tepatnya di Liga U-17 Uruguay. Bintangnya adalah Syamsir Alam, striker yang sudah mengemas 15 gol dari 29 laga yang dilakoninya selama dua putaran Liga U-17 Uruguay. Wajar saja jika anak pertama dari pasangan Edinas Sikumbang dan Yuliana Hotnida ini disebut sebagai tulang punggung timnas U-17, sekaligus masa depan sepakbola nasional.
Alam menyimpan banyak cerita dari Montevideo. Pemain kelahiran 6 Juli 1992 itu untuk sementara ini pulang ke rumahnya di Bintaro, Tangerang, dan kian tak sabar untuk merumput lagi. Berikut ini oleh-oleh Uruguay yang pertama dari Alam, eksklusif untuk pembaca GOAL.com Indonesia.
Dear pembaca GOAL.com Indonesia,
Salam jumpa.
Sudah sebulan ini saya kembali di Jakarta, setelah hampir
setahun lamanya latihan dan ikut kompetisi di Uruguay. Senang bisa melepas rasa homesick yang sudah kami rasakan sejak pertengahan tahun di Montevideo. Sedihnya saya tidak bisa lagi bertemu Om Ronny Pattinasarani yang meninggal dunia. Terakhir di Surabaya sebelum berangkat ke Montevideo, saya pernah berpesan agar Om Ronny mengurangi minum kopi dan rokoknya, tapi kena juga. Begitu juga dengan Om Iswadi Idris yang dulu melepas kami. Sambil menangis beliau waktu itu meminta kami mendoakan Om Ronny yang pergi berobat ke Cina, ternyata malah Om Is yang wafat duluan. Mungkin Tuhan punya rencana lain buat mereka...
Selama di Uruguay, tak banyak kendala yang kami rasakan. Mungkin soal bahasa, plus nasi mereka yang lembek banget seperti bubur. Beda dengan timnas Primavera atau Baretti dulu, tim yang dikirim sekarang bertujuan mencetak pemain. Uruguay juga bukan tujuan yang buruk. Diam-diam banyak scout Eropa yang datang menonton pertandingan Quinta Division, nama kompetisi tempat kami bertanding. Jati diri mereka sulit diketahui. Tidak ada pakaian mentereng, mereka ngegembel saja...
Proses perekrutan pemain berbakat juga tidak berbelit-belit. Ada satu orang bek yang pernah menjaga saya, seminggu kemudian dia sudah terbang ke Chelsea...
Di Uruguay, banyak hal baru yang dapat dipelajari tentang sepakbola. Kita tidak kalah jauh dari mereka, tapi soal mental dan kemauan mereka sangat jauh lebih dari kita.
Saya mulai terbiasa jauh dari keluarga. Maklum, bisa dibilang saya "bolang" -- bocah petualang. Tapi, itu ujian untuk saya agar meraih sukses dan saya harus bisa melewati semua itu. Terima kasih khusus kepada keluarga buat segala dukungannya. Walaupun saya belum menjadi apa-apa, tapi saya percaya akan membuat kalian bangga. Terutama Papa dan Mama yang saya yakin tidak berhenti berdoa untuk anaknya. Terima kasih juga buat om di Depok dan Uning atas dukungan dan doanya. Insya Allah saya menepati janji untuk main di Eropa.
Saya sangat menyesal gagal memikat dan menembus tim salah satu negara raksasa sepakbola tersebut [Vitesse Arnhem dan Heerenveen junior di Belanda]. Tapi kalau harus terlena dengan penyesalan, saya takkan maju. Mungkin memang saya masih kurang ilmu dan harus lebih banyak belajar agar bisa bermain di kancah internasional.
Dan, yang pasti saya tak sabar ingin segera kembali ke Uruguay...
Terima kasih dan sampai jumpa lagi di edisi berikutnya.
Salam,
*Syamsir Alam
No comments:
Post a Comment